Istilah Yakuza mungkin tidak asing lagi bagi banyak orang. Istilah ini sering muncul di film-film atau bahkan serial anime. Kebanyakan orang pasti juga sudah mengerti secara umum apa itu Yakuza.
Yakuza merupakan kelompok, organisasi, atau sindikat yang terorganisasi dengan baik di Jepang. Kelompok ini biasanya dikaitkan dengan tindak kriminal, sehingga wajar saja jika Yakuza sering dianggap sebagai mafia Jepang.
Tentu tidak salah untuk menganggap Yakuza sebagai mafia Jepang. Kenyataannya memang ada banyak kesamaan antara mafia yang berasal dari Italia, dengan Yakuza yang berasal dari Jepang. Dari bentuk organisasinya pun keduanya sangat mirip.
Kata Yakuza sendiri berasal dari bahasa Jepang yang terbentuk dari gabungan dari pelafalan dari kata “893” (yattsu, ku, san). Istilah tersebut berasal dari permainan kartu yang disebut oichokabu (おいちょかぶ), yang biasanya dimainkan dengan setumpuk hanafuda (花札) “kartu bunga”. Bermainan tersebut juga bisa dimainkan dengan kartu bridge biasa jika Raja, Ratu, dan Jack dihilangkan dan kartu As dianggap sebagai 1.
Skor pemain dalam permainan ini ditentukan dengan menambahkan skor pada beberapa kartu dan hanya menggunakan angka terkecil. Karena 8 + 9 + 3 = 20 = 0 poin, “8-9-3” berarti “tidak ada poin”.
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa makna harfiah dari kata yakuza adalah delapan, sembilan, dan tiga, atau “tidak ada poin” atau “tidak berguna”. Kemudian, makna ini berkembang menjadi “orang yang tidak berguna” atau “penjudi.”
Istilah tersebut juga terkait dengan sejarah panjang Yakuza, yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya artikel ini, seperti yang sudah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (25/8/2022).
Asal Mula Munculnya Yakuza
Dilansir dari YOAIR, kelahiran Yakuza dimulai sejak periode Edo, di mana tekiya atau kelompok pedagang dianggap merupakan bagian dari strata sosial kelas terbawah di Jepang. Kelompok sosial tersebut kemudian membentuk organisasi mereka sendiri.
Organisasi tersebut bergerak dalam bidang administrasi yang berkaitan dengan perdagangan. selain administrasi, tugas organisasi tersebut juga meliputi pembagian alokasi kios dan perlindungan bisnis milik kelompok pedagang.
Selama festival Shinto, tekiya membuka kios dan beberapa anggota dipekerjakan sebagai keamanan. Sebagai imbalan atas penugasan kios dan perlindungan selama festival, para pedagang pun memberikan upah.
Tekiya sendiri bisa dibilang merupakan organisasi yang sangat terstruktur dan hierarkis. terdapat pemimpin organisasi yang disebut Oyabun, serta anggota organisasi yang disebut kobun. Hirarki dalam organisasi ini mirip dengan silsilah keluarga tradisional Jepang. Oyabun dianggap sebagai ayah pengganti, sedangkan kobun adalah anak pengganti.
Selama periode Edo, tekiya secara resmi diakui oleh pemerintah. Pada saat itu, di dalam kelompok, oyabun dipilih sebagai pengawas. Mereka diberikan status yang kedudukannya di strata sosial hampir setara samurai. Artinya, Oyabun diizinkan memiliki nama keluarga dan dua pedang juga.
Organisasi serupa juga lahir dari kelompok yang disebut bokuto atau para penjudi. Bakuto atau para penjudi memiliki status sosial yang lebih rendah daripada tekiya. Ini karena perjudian adalah kegiatan ilegal di Jepang.
Kelompok penjudi ini biasanya beroperasi di kuil-kuil terbengkalai yang sudah ditinggalkan di pinggiran kota. Kuil-kuil tersebut kemudian dialihfungsikan menjadi rumah judi. Selain perjudian, kelompok ini juga menjalankan bisnis rentenir untuk klien mereka. Biasanya, mereka memiliki personel keamanan sendiri.
Selama pertengahan periode Edo, situasi ekonomi dan dominasi kelas pedagang, kelompok yakuza yang muncul terdiri dari orang-orang yang tidak cocok dan pelanggar hukum. Mereka telah bergabung atau membentuk kelompok semacam itu untuk memeras pelanggan di pasar lokal dengan menjajakan barang palsu atau jelek.
Saat ini, akar yakuza bertahan melalui upacara inisiasi. Ini menggabungkan ritual bakuto atau tekiya. Beberapa kelompok Yakuza masih mengidentifikasi diri mereka dengan sebutan yang terkait dengan bisnis yang mereka jalankan. Misalnya, sebuah geng yang sumber pendapatan utamanya berasal dari perjudian ilegal dapat menyebut diri mereka bakuto.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya secara singkat, kelompok Yakuza merupakan kelompok dengan organisasi yang sangat baik. Mereka juga memiliki struktur dalam organisasi mereka yang mengadopsi struktur kekeluargaan tradisional Jepang.
Strukturnya adalah oyabun-kobun, di mana kobun harus bersumpah setia pada oyabun. Seiring berjalannya waktu, peran oyabun dan kobun ini juga dibebani hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dan kewajiban ini disebut kode jingi atau keadilan dan kewajiban ditetapkan, di mana rasa hormat dan kesetiaan adalah cara hidup yang harus mereka jalani.
Yakuza dipimpin oleh oyabun, yang juga dikenal sebagai kumichō (kepala keluarga). Dia memberi perintah kepada kobun, bawahannya.
Anggota Yakuza yang disebut kobun harus memutuskan hubungan dengan keluarga asli mereka dan bersumpah setia pada oyabun. Para anggota menyebut satu sama lain sebagai anggota keluarga, ayah, kakak dan adik.
Sebagian besar anggota yakuza adalah laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menjadi anggota yakuza. Jika ada wanita yang menjadi anggota yakuza, itu tidak lain adalah istri-istri dari para oyabun. Mereka dipanggil dengan sebutan ane-san yang artinya kakak perempuan.
Namun ada pula kasus di mana seorang wanita menjadi seorang pemimpin kelompok yakuza. Itu terjaid pada awal 1980-an, ketika Kazuo Taoka, bos Yamaguchi-Gumi ketiga meninggal. Setelah itu kelompok yakuza-nya diambil alih oleh istrinya, Fumiko, meskipun untuk sementara waktu.
Sebuah kelompok yakuza biasanya memiliki kebiasaan atau tradisi khusus yang dilakukan oleh para anggotanya. Tradisi yakuza yang umum dilakukan adalah berbagi sake, tato, dan pemotongan jari.
Berbagi Sake
Hubungan antara oyabun dan kobun diformalkan melalui upacara berbagi sake dari satu cangkir. Ritual penting ini tidak hanya eksklusif untuk yakuza. Pernikahan tradisional Shinto dan hubungan persaudaraan tersumpah kuno juga berbagi ritual ini.
Tradisi berbagi sake disebut Sakazuki. Sakazuki merupakan upacara simbolik, bahwa seseorang telah resmi menjadi salah satu anggota dari kelompok yakuza. Selain itu, upacara ini juga menentukan koneksi dan peringkat setiap anggota.
Mereka yang menerima sake dari oyabun sendiri adalah bagian dari keluarga dekat, atau yang menerima pangkat kakak atau adik. Setiap kobun dapat menawarkan sake sebagai oyabun kepada mereka yang berada di bawahnya dan membuat organisasi afiliasi. Hal ini selanjutnya dapat mengarah pada pembentukan organisasi dengan peringkat yang lebih rendah. Bisa dibilang, rekrutmen anggota yakuza mirip seperti MLM.
Pemotongan Jari
tradisi lain yang tak kalah menari yang terjadi di dalam kelompok yakuza adalah Yubitsume dan otoshimae, yaitu pemotongan jari tangan. Pemotongan jari tangan ini dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf atau penebusan dosa.
Pada pelanggaran pertama, orang tersebut harus memotong ujung jari kelingking tangan kirinya. Potongan yang terputus itu kemudian diserahkan kepada bosnya. Kadang-kadang, underboss dapat menggantikan ritual penebusan dosa ini untuk menyelamatkan anggota gengnya dari hukuman lebih lanjut.
Asal usul praktik ini berasal dari cara tradisional memegang pedang Jepang, di mana jari kelingking, jari manis, dan jari tengah digunakan untuk memegang pedang dengan erat, sedangkan ibu jari dan jari telunjuk memegang pedang dengan longgar. Ketika jari-jari dipotong mulai dari kelingking menuju telunjuk, maka itu akan semakin melemahkan cengkeraman pada pedang.
Hukuman pemotongan jari ini sebagi simbol bahwa anggota yang memiliki cengkeraman pedang yang lemah harus bergantung pada kelompok untuk perlindungan. Dengan kata lain, hukuman pemotongan jari ini akhirnya akan mengurangi sifat individual dari anggota yakuza.
Tato
Banyak dari anggota yakuza memiliki tato di sekujur tubuh mereka, bahkan hingga ke bagian privat. Tato, yang disebut irezumi di Jepang, dibuat dengan teknik hand-poked. Jadi, pembuatan tato di antara anggota yakuza tidak melibatkan mesin tato. Proses memasukkan tinta di bawah permukaan kulit dilakukan dengan menggunakan alat yang dibuat menyerupai jarum dari baja atau bambu. Seluruh prosedur ini menyakitkan, mahal dan mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan.
Ketika para anggota saling bermain kartu Oicho-Kabu, baju mereka sering dilepas atau dikalungkan di pinggang. Ini adalah kesempatan untuk menampilkan tato mereka. Bermain kartu adalah salah satu dari sedikit kesempatan ketika anggota yakuza memamerkan tato mereka.
Biasanya, saat di depan umum, mereka menyembunyikannya dengan mengenakan kemeja berleher tinggi dan berlengan panjang. Ketika seorang anggota baru bergabung, mereka sering diminta untuk melepas celana mereka juga, untuk melihat tato di tubuh bagian bawah. [liputan6.com/foto:istimewa]
NOTE : Bahasan tentang Yakuza ada di beberapa buku di Indonesia, salah satunya terbitan Gramedia dan Komunitas Bambu. Kedua Buku tersebut saat ini bisa didapatkan di BUKUMANIA STORE. Silakan Klik LINK ini…