Korupsi dan Problematika Internal Partai di Indonesia

Di Era Reformasi, partai politik memainkan peran yang menentukan dalam kehidupan politik. Namun hingga hari ini sebagian kalangan melihat partai politik justru sebagai episentrum dalam beragam masalah politik di Indonesia (Haris, 2014), termasuk terkait dengan korupsi.

Hal ini terlihat misalnya dari maraknya kader partai, baik kapasitasnya sebagai menteri, kepala daerah maupun anggota legislatif pusat dan daerah, terjerat korupsi. Kader-kader partai yang berurusan dengan hukum tidak kunjung surut, yang menunjukkan adanya suatu masalah besar dari kehidupan partai politik saat ini.

SUMBER PERSOALAN
Beberapa problem internal menjadi latar belakang fenomena keterkaitannya partai dengan korupsi. Pertama, lack of transparency dalam pengelolaan partai. Sudah menjadi pengetahuan umum, pengelolaan partai saat ini demikian terpusat, dimana beragam kebijakan penting partai lebih ditentukan oleh segelintir elite secara eksklusif.


Pada kebanyakan partai kerap malah dilakukan penyingkiran aturan dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan elite partai dapat dengan mudah mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para kader. Di beberapa partai bahkan memang melegalkan aturan main yang memberikan kekuasaan besar bagi elite partai untuk mengambil keputusan strategis sepihak (Noor 2021).

Akibatnya sejauh menurut para elite sebuah agenda memiliki prospek menjanjikan dan mendatangkan keuntungan dalam banyak hal, termasuk keuangan sebuah kesepakatan atau kompromi politik dapat dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan transaksi politik yang eksklusif dan tidak terkontrol, termasuk soal kompensasi-kompensasi lainnya yang diperolehnya, menjadi marak dan mudah terselewengkan.

Kedua, lack of discipline. Partai tidak cukup berhasil mendisiplinkan kadernya untuk berpolitik secara bersih dan bermartabat. Kondisi ini terkait erat dengan kegagalan partai dalam menanamkan nilai-nilai idealisme melalui sebuah proses pendidikan internal atau kaderisasi. Saat ini tidak semua partai benar-benar melaksanakan kaderisasi secara kontinu dan terlaksana di seluruh wilayah kepenguruan. Akibatnya, sikap pragmatis, oportunis, hipokrit berkembang dan menjadi sulit dihindari dalam mempengaruhi cara pandang maupun sikap para kader.
Dengan berkembang dan terpeliharanya sikap-sikap negatif itu, maka banyak sekali proses politik menjadi rawan korupsi atau berpotensi besar dimanipulasi. Terbukti kemudian kader-kader partai, baik langsung maupun tidak, kerap menjadi bagian dari praktik korupsi mulai dari proses kandidasi –tercermin dari praktik jual beli perahu—pada ajang kontestasi elektoral, hingga pada pembuatan kebijakan dan beragam kompensasi politik setelah pemerintahan terbentuk.

Ketiga, lack of financial management. Lemahnya persoalan ini menyebabkan parpol akhirnya mengandalkan sumber-sumber alternatif dalam menghidupi dirinya dan untuk menjalankan aktifitasnya mulai dari pusat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Ini sudah menjadi sebuah kenyataan sejak Era Reformasi berlangsung.
Kajian Kemitraan dkk (2011), Perludem (2012) maupun Pusat Penelitian Politik LIPI-KPK (2019) mengisyaratkan bahwa kebanyakan kondisi keuangan partai-partai sejatinya amat tidak memadai atau jauh dari ideal. Situasi seperti ini akhirnya memicu kader untuk mengumpulkan dana dari berbagai sumber, meski kadang melanggar hukum. Hal ini semua tidak saja dilakukan demi menjalankan roda organisasi namun pula dalam rangka memenangkan kontestasi politik. Kebutuhan dana untuk pengelolaan partai kerap mendorong kader berkorupsi.

Sementara kebutuhan dana yang demikian besar, yang terkait dengan aturan main maupun lingkungan politik yang semakin koruptif, akhirnya mendorong kader/kandidat melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak yang pada akhirnya menuntut kompensasi. Catatan KPK menunjukan bahwa salah satu motif dari munculnya praktik politik uang adalah dalam rangka kompensasi politik dengan beragam bentuknya.

EMPAT KUADRAN SOLUSI
Sehubungan dengan tiga persoalan tersebut di atas, maka strategi pembenahan yang harus dilakukan adalah dengan mengurangi potensi kemunculan ketiganya. Pembenahan partai tidak saja harus memperhatikan baik hal-hal yang terkait dengan prosedur maupun substansi. Kajian pelembagaan partai dari Vicky Randall dan Lars Svasand (2002) mengindikasikan bagaimana persoalan partai harus didekati tidak saja dari sudut pandang konsistensi struktural atau kesisteman yang berintikan persoalan prosedur, namun juga sikap dan nilai-nilai (values).

Di sisi lain, pembenahan bagi partai pada akhirnya tidak hanya terkait dengan kondisi internal melainkan juga dari topangan eksternal yang sedikti banyak akan mempengaruhinya. Atas dasar pertimbangan itu, maka pada dasarnya pembenahan meliputi empat kuadran atau dimensi, yakni (1) internal-prosedural, (2) internal-substansial, (3) eksternal-substansial, dan (4) eksternal-prosedural.

Pada aspek internal-prosedural fokusnya adalah terutama perbaikan aturan internal partai dan konsistensi pengedepanan system yang terbuka, dimana inti persoalannya adalah mencegah terciptanya elitisme dan menciptakan disain aturan yang kompatibel bagi penguatan demokrasi internal. Ini semua diharapkan dapar menguatkan transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan partai, sehingga kebijakan-kebijakan partai dapat menjadi lebih terkontrol dan aspiratif.

Dengan adanya transparansi, penetapan kebijakan akan bersifat kolektif, melalui sebuah pertimbangan-pertimbangan yang aspiratif dan tidak berdasarkan semata pertimbangan ekslusif dari para elite. Adanya transparansi ini, diharapkan manakala ada upaya-upaya yang bersifat manipulative, termasuk poteni politik uang sudah sejak dini terdeteksi dan dihindari.

Pada aspek internal-substansial hal utamanya adalah pemantapan ideologi partai melalui pelaksanaan kaderisasi yang terstandarisasi, kontinum dan berorientasi pada pembangunan idealisme. Adanya kaderisasi atau ideologisasi akan memunculkan kader-kader dengan idealisme kuat, yang mendahulukan kepentingnya rakyat, bangsa dan partai. Bukan kader-kader oportunis yang bahkan tidak merasa bersalah untuk menyalahgunakan wewenang, memanipulasi aturan main, hingga melakukan praktik korupsi. Adanya kaderisasi diharapkan dapat membuat para kader dapat diandalkan untuk berkomitmen kuat dalam membentuk pemerintahan yang bersih.

Adapun pada aspek eksternal-prosedural, hal yang terpokok adalah menghadirkan aturan main yang mendukung penguatan idealisme, profesionalisme dan kemandirian partai. Kondisi ini memang tidak terkait langsung dengan pembenahan internal, namun amat dibutuhkan terutama terkait dengan persoalan lack of financial management. Untuk itu diperlukan UU yang mendorong terlaksananaya pengkaderan yang berkualitas, terstandarisasi dan kontinum, sebagai upaya menyokong penguatan idealisme kader partai.
Selain itu, diperlukan pula UU yang dapat makin memperkuat kemandirian finansial partai secara menyeluruh. Hal ini terutama agar partai dapat menghindar dari ketergantungan finansial pada oligarkh, yang memungkinkan segelintir orang dapat menguasai cara pandang, sikap hingga agenda sebuah partai politik. Kasus politik uang dan ketergantungan pada “cukong politik” dalam konteks pilkada, misalnya, tidak dapat dipisahkan dengan kenyatan bobroknya kemandirian keuangan partai.

Kelemahan ini secara mendasar menyebabkan daya tawar politik partai dan kader lemah, dan akhirnya mendorong mereka menerima begitu saja dukungan dana para oligarkh, yang tentu saja sarat dengan kepentingan. Kelemahan ini juga tidak saja menyebabkan para kandidat dalam jangka panjang terjebak dalam praktik kolusi dengan memberi kesempatan kepada oligarkh untuk lebih berperan dalam pembuatan kebijakan dan mengambil keuntungan di dalamnya.

Sedangkan pada aspek eksternal-substansial terkait erat utamanya dengan meningkakan kesadaran politik masyarakat melalui upaya-upaya pendidikan dan pendewasaan politik. Pembenahan dari sisi ini juga akhirnya terkait dengan performa partai. Hal ini mengingat bahwa eksistensi masyarakat yang cenderung permisif kerap turut berperan dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi partai itu sendiri. Tanpa ditopang oleh lingkungan politik yang sehat dimana masyarakat adalah inti di dalamnya, maka perbaikan partai politik akan berjalan lamban bahkan bisa jadi justru semakin terdorong untuk terus melakukan praktik politik uang.
Aspek eksternal-substansial ini terkait pula dengan upaya memperkuat kalangan kritis, yang diharapkan dapat menjadi “watch dog” bagi partai dan kader-kadernya untuk tidak berperilaku seenaknya, termasuk melakukan praktik korupsi.Adanya kalangan kritis ini diharapkan juga dapat turut memberikan dukungan dan kritik kepada partai-partai secara objektif, yang dapat turut menumbuhkan lingkungan yang sehat dan kompetitif bagi partai-partai dan pada akhirnya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Firman Noor
(Pusat Penelitian Politik LIPI)

Artikel pernah dimuat di : KOMPAS ID
Foto: istimewa

Related posts

Leave a Comment